Selasa, 26 Mei 2009

Takhrij Hadits

TAKHRIJ DAN MENYIKAPI HADITS
السلام قبل الكلام

A. Pendahuluan
Hadis (Sunnah) adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Ummat Islam wajib mengikuti keduanya kerena al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber hukum yang paling fundamental .
Hadis Rasulullah saw. merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al Qur’an.. Hadis dan Sunnah baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas kaum muslim dari berbagai madzhab sebagai sumber ajaran Islam; karena dengan adanya hadis dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci dan spesifik.

Firman Allah:
     
”Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”. (Q.S. Ali Imran: 132)
Melihat posisi hadis yang begitu penting itu, maka umat Islam dituntut untuk mempelajari hadis dan ilmunya, sehingga dapat mengetahui dan memahaminya secara maksimal sebagai referensi dalam melakukan istinbath hukum dan mengetahui problematikanya kemudian dapat meletakkannya pada proporsi yang sebenarnya.
Untuk mengamalkan ajaran Islam dan mengeluarkan produk hukum dengan bersumberkan Hadis, kita harus mengetahui nilai kualitas Hadis tersebut, apakah hadis yang dipakai dalil itu Shahih, Hasan, Dha’if atau Maudhu’.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas terdapat beberapa persoalan yang perlu ditelusuri dan dikaji secara mendalam berkait dengan Hadis Nabi Saw., dan selanjutnya untuk diketahui kualitasnya. Proses inilah dalam ilmu Mustholah al-Hadis dikenal dengan takhrij al-hadi

Menurut Dr. Mahmud al-Thohan Hadis ditinjau dari kualitasnya secara umum terbagi kepada dua yaitu, Maqbul dan Mardud. Yang disebut Maqbul menurut bahasa adalah yang diambil atau yang dibenarkan dan diterima.
Sedangkan menurut istilah ahli Hadis adalah:
”Hadis yang dapat diterima dan dipertanggung jawabkan kebenaran beritanya”.
Sementara itu Hasbi Ashidiqy mendefinisikan dengan mengutip pendapat pendapat ahli Hadis, bahwa Hadis Maqbul adalah:
”Yang ditunjuki oleh suatu keterangan, bahwa Nabi Saw. Menyabdakannya, yakni kebenarannya lebih kuat daripada kedustaanya.”
Sedangkan yang dimaksud dengan mardud menurut bahasa adalah ”yang ditolak, yang tidak diterima”.
Menurut istilah ahli hadis Mardud berarti:
”Hadis yang didalamnya tidak terdapat karakteristik hadis maqbul”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, Hadis maqbul adalah Hadis yang dapat diterima kebenarannya dan dapat dijadikan hujah (argumen) dalam pengambilan istimbath hukum Islam. Sedangkan Hadis Mardud adalah Hadis yang tertolak kebenarannya dan tidak dapat dijadikan hujah.
Adapun Hadis ditinjau dari segi diterima (maqbul) dan tidaknya (mardud) sebagai landasan hukum terbagi kepada tiga bagian, yaitu:
1. Hadis Shahih
2. Hadis Hasan
3. Hadis Dha’if
Hadis Shahih dan hasan nilainya Maqbul (diterima) , sedangkan Hadis Dha’if nilainya mardud (ditolak). Berikut ini pengertian masing-masing ketiga istilah tersebut.
Mayoritas ulama berpandangan bahwa hadis dari segi kualitas dibagi menjadi tiga macam (shahih, hasan, dan dha’if) telah dimulai sejak al-Tirmidzi. Sebelumnya, ulama hadis hanya mengklasifikasikan kualitas hadis kepada dua ketegori, yaitu hadis shahih dan hadis dha’if. Kemudian, hadis dha’if dibagi lagi menjadi dua, yaitu: Pertama, hadis dha’if matrûk (hadis yang wajib ditinggalkan), dalam hal ini jumhur ulama sepakat menolak kehujahannya. Kedua, hadis dha’if laisa bihî matrûk (hadis yang kelemahannya tidak mengahalangi pengamalannya). Jenis hadis dha’if kedua inilah yang serupa dengan istilah hadis hasan yang kemukakan oleh Imam al-Tirmidzi dalam kitabnya Jâmi’ al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi).
BIOGRAFI RINGKAS AL-TIRMIDZI

Al-Tirmidzi, nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dhahhak al-Bughi al-Tirmidzi. Beliau dilahirkan di Tirmidz, sebuah kota kuno yang terletak di pinggiran sungai Jihon (Amoderia) Khurasan sebelah Utara Iran, pada tahun 209 H./824 M. Menurut Ibn Dib’ al-Syaibani, beliau wafat di desa Bugh dekat Tirmidz pada tahun 279 H./892 M. dalam keadaan buta. Itulah sebabnya, Ahmad Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Darîr, karena al-Tirmidzi mengalami kebutaan di masa tuanya.


Arti Musnad (muttashil- nya sanad dan marfu’-nya matan).
Yang dimaksud dengan mutasil atau bersambung sanadnya adalah sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap Rawi saling bertemu satu sama yang lain dan dapat menerima langsung dari gurunya. Sedangkan yang dimaksud Matan yang marfu’ artinya Matan (isi berita) sampai kepada Nabi Saw. Sanad yang bersambung dan Matan yang sampai kepada Nabi disebut Musnad.
Para ahli hadits (muhadditsun) semenjak abad ke-2 Hijriyah sudah melakukan analisis kritis atas sejumlah hadits melalui metode kritik sanad (naqd as-sanad) atau kritik eksteren (an-naqd al-khariji) dan menggunakan metode kritik matan (naqd al-matan) atau kritik intern (an-naqd ad-dakhili). Dalam hal ini kaidah kritik sanad, tingkat akurasinya sangat tinggi dibandingkan dengan kaidah kritik matan yang membutuhkan pengembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Para ahli hadits (muhadditsun) tersebut akhirnya dapat memisahkan hadits-hadits palsu dari hadits-hadits shahih yang kemudian dikodifikasikan dalam kitab-kitab hadits seperti yang tersebar saat ini, diantaranya Jami’ ash-shahih al Bukhari, Jami’ ash-Shahih al-Muslim, dan kitab-kitab hadits lainnya.
Hasil kritik sanad menentukan kualitas hadits
Dalam penelitian hadits, kegiatan kritik sanad didahulukan dari pada kegiatan kritik matan, karena hasil kritik sanad menentukan apakah kritik matan perlu dilakukan atau tidak. Sekiranya kritik matan perlu dilakukan untuk kualitas sanad bagaimana kritik matan itu dilakukan; maka kemungkinan hasil penelitian kualitas haditsnya sebagai berikut:
a) Sanad dan amatan hadits ditemukan shahih
b) Sanad hadits shahih sedangkan matan-nya dha’if
c) Sanad hadits dha’if sedangkan matan-nya shahih
d) Sanad dan matan hadits keduanya dha’if
Melihat adanya kemungkinan-kemungkinan kualitas tersebut, maka yang disebut hadits shahih adalah hadits yang sanad dan matan-nya shahih, sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang sanad dan matan-nya diketahui dho’if juga. Sementara untuk hadits yang sanad-nya shahih dan matan-nya dha’if atau sebaliknya, tidak dihukumi sebagai hadits shahih atau hadits dha’if. Istilah yang lazim dipakai, misalnya dengan penjelasan, isnaduhu shahih wa matnuhu dha’if atau isnaduhu dha’if wa matnuhu shahih.
Begitu juga hadits dinyatakan sebagai hadits dha’if tidak dapat dipastikan kalau hadits tersebut tidak berasal dari nabi, bisa jadi hadits tersebut berasal dari nabi hanya saja bukti-bukti pendukungnya tidak kuat, oleh karenanya suatu hadits dha’if dimungkinkan status kualitasnya menjadi hadits hasan li ghairih apabila ke-da’if-annya tidak parah atau ditemukan dalil-dalil lain yang mengngkat statusnya.
Sunan at-Turmuzi ( سنن آلتّرمذيّ )
Kitab ini disusun oleh al-Imam Abu ’Isa Muhammad bin ’Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahak as-Salmi at-Turmuzi atau lebih dikenal dengan sebutan at-Turmuzi atau at-Tirmizi (wafat 279 H/892 M). Jumhur ulama hadis menempatkan kitab Sunan at-Tirmizi sebagai kitab hadis yang berstatus standar peringkat keempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar